Sunday 29 May 2011

Catatan Fb TRS 7

Siapakah Raja
Onggu Ruma
Sondi ?? Benarkah
Raja bunga bunga
anak dari Sondi
Raja ??
SEJARAH DAN BEBERAPA
LEGENDA PADA MARGA
MATANARI PAKPAK
PEGAGAN
Sub-Suku Batak
Suku Batak adalah berasal
dari keturunan Melayu
Tua (Proto Melayu) yang
berasal dari (imigran)
Hindia Belakang/Selatan
(keturunan bangsa
Yunani), dan kemudian
kawin dengan Melayu
Muda (Deutro Melayu).
Proto Melayu (Melayu
Tua) yang menjadi Suku
Batak, datang dari dua
arah yaitu pertama dari
pantai barat pulau
Sumatera (baik imigran
dari Hindia Belakang
maupun Transmigran dari
kerajaan Sriwijaya maupun
Kerajaan Melayu Jambi)
yang sebahagian masuk
dari daerah Barus, dan
kedua adalah dari arah
pantai Timur pulau
Sumatera terutama dari
daerah Aceh Timur
(kerajaan Haru, kerajaan
Tamiang, dan lain lain).
Deutro Melayu (Melayu
Muda) masuk melalui
pantai Timur pulau
Sumatera. Masing-masing
pendatang (imigran atau
transmigran bergerak
menuju kawasan Danau
Toba.Pergerakan manusia
Proto Melayu dan Deutro
Melayu menuju kawasan
Danau Toba disebabkan
(dipengaruhi) oleh faktor
(1) pasang-surut
kekuasaan kerajan yang
ada berkuasa di pulau
Sumatera (kerajan kecil
yang tahluk kepada
kerajaan besar di
Nusantara (yakni kerajaan
Sriwijaya di Sumatera, dan
di pulau Jawa kerajaan
Majapahit) sekitar abad
ke-6 sampai abad- ke-14
M, serta (2) akibat
pengaruh penyebaran
agama Hindu, Buda di
Nusantara dan agama
Islam (di daerah Aceh,
daerah Deli dan daerah
Sumatera Barat), yang
mendesak orang-orang
yang beragama animisme
bergerak menuju kawasan
danau Toba pada zaman
dahulu. Kerajaan
Sriwijaya pada zamannya
mempunyai pasukan yang
bertugas menerima upeti
dari kerajaan kerajaan
kecil yang ada di
Nusantara. Sewaktu
kerajaan Sriwijaya
ditahlukkan kerajaan
Colamandala tahun 1025
M menyebabkan
sebahagian pasukan yang
sedang diperjalanan
bertugas meminta upeti di
kerajaan kecil di daerah
Aceh dan Sumatera Utara
tidak kembali ke pusat
kerajaan Sriwijaya
(Palembang). Pasukan
kerajaan Sriwijaya ini
kemudian kawin dengan
penduduk (Proto Melayu)
yang sudah ada dan
berassimilasi budaya
membentuk masyarakat
masing-masing Proto
Batak.Berdasarkan alasan
(pertimbangan) hal-hal
yang diuraikan di atas dan
berdasarkan kemiripan
bahasa, sastra dan aksara,
maka asal-usul sub-suku
Batak (Proto-Batak) dapat
dibedakan terdiri dari 2
bagian yaitu, (1) Proto-
Batak Utara (terdiri 3 sub-
suku Batak yakni: Pakpak,
Karo. dan Alas/Gayo) dan
(2) Proto Batak Selatan
(terdiri 4 sub-suku Batak
yakni: Simalungun, Toba,
Angkola dan
Mandailing)Kedatangan
Imigran ataupun
Transmigran yang masuk
ke daerah kawasan danau
Toba adalah secara
bertahap atau
bergelombang dalam
periode waktu berbeda,
dan kemudian terjadi
perkawinan ataupun
assimilasi budaya. Setiap
gelombang bergerak
menuju daerah yang
dianggap paling subur.
Pendatang yang lebih awal
akan mendapat (bertahan
tinggal) di daerah yang
lebih subur, sebaliknya
pendatang yang lebih
belakangan akan
mendapat daerah yang
lebih tandus. Pada
mulanya suku Batak
adalah hidup nomade
(manusia yang tingkat
kebudayaannya hidup dari
memungut hasil
tumbuhan secara alami
dan menangkap ikan serta
berburu binatang/burung
dan tempat tinggal
berpindah-pindah),
kemudian berkembang ke
tingkat budaya pertanian
berpindah-pindah,
pertanian tradisional dan
hingga pertanian modern
(sekarang).Kebudayaan
yang menganut sistim
demokrasi pada bangsa
Yunani dan keturunannya
(trias politic) juga
berkembang pada suku
Batak. Demokrasi yang
dianut pada suku Batak
adalah azas "The Trias
Manner of Batak Culture"
yakni 3 alur/sikap
(perilaku) utama dalam
berbudaya (hubungan
antar manusia) suku
Batak. Pada Batak
Pakpak 3 prilaku utama
tersebut, yang
dilaksanakan dalam hidup
berbudaya dan
bermasyarakat adalah
meliputi (1) Sembah
Merkula-kula/Suyuk
mendahi Puhun, (2)
Manat merdengngan
tubuh, ( 3) Elek merberru,
yang dilaksanakan dalam
ikatan kekerabatan yang
sangat besar, yang disebut
Silima Sulang. Silima
Sulang adalah 5 unsur
ikatan kekerabatan dari
masing-masing kelompok
kula-kula dan kelompok
anak berru, yaitu (1)
Perisang-isang (anak
tertua), (2) Pertulan
Tengah (anak
pertengahan), (3) Perekor-
ekor (anak bungsu), (4)
Puncanidip atau
Puncaniadop (saudara
semarga atau satu kakek)
dan (5) Anak Berru.
Sulang dapat diartikan
memberikan makanan
sebagai wujud rasa
hormat kepada kula-kula
dan sebaliknya rasa kasih-
sayang kepaada berru
(misalnya, menggohon-
gohoni). Pada Batak Karo
dikenal 3 cara tersebut
adalah Rakut Sitellu yang
dilaksankankan dalam
ikatan kekerabatan Tutur
Siwaluh. Pada keturunan
Proto Batak Selatan 3 cara
tersebut disebut Dalihan
Natolu (terdiri dari 3
unsur yaknihula-hula,
dongan tubu dan boru
yang memiliki tingkat
derajat kemanusiaan yang
sama).
Pakpak Pegagan
Sub-suku Batak Pakpak
(bagian dari Proto Batak
Utara) terdiri dari lima
suak, yakni (1) Pakpak
Pegagan, (2) Pakpak
Keppas, (3) Pakpak
Simsim, (4) Pakpak
Kelasen dan (5) Pakpak
Boang, Salah satu
keturunan sub suku
Pakpak adalah
Simergarahgah. Keturunan
Simergarahgah adalah
Perbuahaji. Keturunan
Perbuahaji adalah Pitu
Guru Pakpak Sindelanen
adalah dukun (Datu) yaitu
7 Guru/Raja yakni Raja
Api, RajaAngin, RajaTawar,
Raja Lae/Lau/Lawe, Raja
Aji, Raja Besi dan Raja
Bisa) yang mempunyai
ilmu kebatinan dengan
keahlian (aliran) khas
masing-masing. Ilmu ini
diturunkan (turun-
temurun) kepada para
murid masing-masing.
Murid yang paling mahir
tetap dianggap sebagai
Raja/Guru dari ilmu aliran
masing-masing. Suatu
ketika, para murid yang
dijuluki Raja atau Guru
pada 7 aliran ilmu
tersebut bertemu di
daerah pegunungan
antara daerah Pegagan
dengan Tanah Karo.
Pengaruh agama Islam
dan Kristen, menyebabkan
ilmu mereka ke 7 guru/
raja lambat laun semakin
pudar (kecil) pengaruhnya
kepada masyarakat,
kemudian mereka yang
terakhir diyakini
meninggal di pegunungan
antara daerah Pegagan
dan Tanah Karo.Pakpak
Suak Pegagan (Raja
Gagan) adalah keturunan
Guru/Raja Api yang
pertama, (yang
mempunyai aliran ilmu
tenaga dalam yang
menyerupai tenaga api).
Keturunan Guru/Raja Api
(Pakpak Pegagan) ada 3
marga yaitu Matanari,
Manik dan Lingga,. Marga
Matanari tinggal di daerah
kuta Balna Sikabeng-
kabeng dan Kuta Gugung.
Marga Manik di Kuta
Manik dan Kuta Raja.
Marga Lingga di Kuta
Singa dan Kuta Posong.
Jumlah generasi mulai dari
Proto Pakpak sampai
terbentuk marga Matanari
belum diketahui secara
pasti, namun diduga ada
sekitar 11 generasi, karena
marga Matanari sudah
ada sekitar 19-20 generasi.
Jadi Proto Batak Pakpak
diduga sudah ada sejak
sekitar 30 generasi x 20
tahun = 600 tahun yang
lampau.Matanari dan
Sembahan Simergerahgah
Zaman dahulu,
oleh para mpung (nenek
moyang) merga Matanari,
diyakini ada kekuatan gaib
yang berkuasa dan
bersemayam disekitar
hulu (takal) sungai (lae)
Patuak (di daerah sekitar
Lae Rias) sampai Lae
Pondom di atas huta
Silalahi Nabolak. Kekuatan
gaib itu disebut "
Sembahan
Simergerahgah" yaitu
nenek moyang Raja
Matanari. Diyakini mereka
bahwa disekitar daerah ini
adalah tempat kuburan
para nenek moyang raja
Matanari. Nenek moyang
raja Matanari masih taraf
budaya nomade (hidup
dari hasil tumbuhan alam,
hasil berburu binatang
dan burung serta hasil
tangkapan ikan tawar).
Selanjutnya raja Matanari
dan keturunannya
berkembang ke tingkat
budaya Petani Berpindah-
pindah, sehingga mereka
bergerak berpindah-
pindah ke rarah lahan
yang lebih subur (dari Lae
Rias-Lae Pondom menuju
arah Balna Sikabeng-
kabeng Kuta Gugung). Di
tempat terakhir ini
selanjutnya berkembang
ke tingkat budaya
Pertanian Tradisional
hingga sekarang menjadi
berkembang ke tingkat
budaya Pertanian
Modern.Diduga, pada
mulanya tempat tinggal
Raja Matanari dan
keturunannya adalah di
sekitar kuta Balna. Kuta
berarti kampung/desa/
dusun (huta, bahasa
Batak Toba). Kuta Raja
Matanari terletak pada
dataran tinggi yang
sebelah Barat berbatasan
dengan sungai (Lae)
Renun yang terbentuk
akibat terjadi patahan
lempeng bumi ribuan
tahun sebelum masehi
(SM), dan sebelah Timur
berbatasan dengan danau
Toba (Tao Silalahi) yang
terbentuk akibat letusan
gunung berapi ribuan
tahun sebelum masehi.
Arah ke Utara adalah kuta
(kampung) yang ditempati
Raja Manik dan Raja
Lingga serta arah Selatan
adalah daerah Tele dan
gunung Pusuk Buhit. Kuta
Raja Matanari terbentang
pada lahan yang relatip
subur dan tersedia
sumber air baik dari
sumber Mata Air maupun
air beberapa sungai. Raja
Matanari dan
keturunannya memilih
tinggal di tempat yang
dekat dengan beberapa
sungai misalnya Lae
Patuak selain sebagai
sumber air minum dan air
mandi juga sumber ikan
sungai (tawar). Pada
mulanya belum ada nama
tempat tinggal Raja
Matanari. Nama kuta
tempat tinggal keturunan
Raja Matanari ada
kemudian sesuai sejarah
yang terjadi di daerah
tersebut.
Paroltep Hulubalang Raja
Matanari
Suatu ketika, istri
Raja Matanari sakit keras,
pada zaman itu belum
ada pengobatan medis,
yang ada adalah
pengobatan tradisional,
baik melalui obat ramuan
maupun ilmu kedukunan
(paranormal =
hadatuon). Raja Matanari
menyuruh hulubalangnya
mencari ramuan daun-
daunan, akar-akaran dan
biji-bijian ke hutan, untuk
obat mpung berru
Simeratah istrinya .
Hulubalang pergi sambil
membawa Oltep yakni
alat senjata tradisional,
yang dapat digunakan
menembak burung,
(orang yang sering
menggunakan Oltep
disebut Paroltep).
Hulubalang pada
umumnya adalah anggota
keluarga (keturunan)
kepala suku atau
kelompok (Raja
Matanari).Hulubalang
berangkat dari kuta
menuju ke arah Timur,
mengikuti aliran sungai
(Lae) Patuak ke arah hulu
(menuju Huta/Tao
Silalahi). Di tengah
perjalanan, hulubalang
melihat seekor burung
yang cantik. Hulubalang
bermaksud menangkap
burung tersebut hidup,
sehingga dia coba
menembak dengan Oltep
secara pelan (tidak kuat).
Burung tersebut jatuh,
tetapi karena tidak kuat
ditembak (dioltep) burung
tersebut terbang lagi dan
hinggap ke pohon lain.
Hulubalang mengejarnya
dan coba menembaknya
lagi dengan cara yang
sama,. burung tersebut
jatuh dan dengan keadaan
yang sama terbang lagi
dan hinggap ke pohon
lain. Demikian
kejadiannya berlangsung
berulang-ulang, hingga
hulubalang tidak sadar
sudah sampai mendekati
Tao Silalahi (danau Toba),
hulubalang lupa tugas
utamanya mencari
ramuan. Karena waktu
sudah menjelang malam
hari, hulubalang melihat
asap api menyala di suatu
gubuk. Hulubalang
mendekati gubuk
tersebut, dan melihat
seorang laki-laki di dalam
gubuk tersebut yaitu Raja
Silalahisabungan..Hulubalang
menegur Raja
Silalahisabungan, dengan
pertanyaan, " kenapa kau
menempati tanah
ini ?,tanah ini adalah milik
suku Pakpak"..?.
Kemudian Raja
Silalahisabungan dengan
cerdik dan benar
menjawab, "Ndang tanom
na hu hunduli tanonggku
do, Ndang aekmu na hu
inum aek ku do", sambil
menunjukkan bungkusan
tanah yang didudukinya
dan menunjukkan air
dalam kendi dari bambu,
yang di bawa nya dari
Toba. Karena pernyataan
Raja Silalahisabungan
adalah benar, maka tidak
mempan ilmu hitam yang
dipasang Hulubalang
kepada Raja
Silalahisabungan.
Selanjunya hulubalang
menyadari bahwa Raja
Silalahisabungan tersebut
pasti seorang Dukun
Hebat (Datu
Bolon). Karena obat
ramuan tidak didapatkan
(terlupakan akibat
mengejar-ngejar burung
tersebut di atas), maka
hulubalang mendapat
inspirasi jalan keluar atas
tugasnya yang terlalaikan,
yaitu hulubalang
(paroltep) meminta Raja
Silalahisabungan mau
bersedia mengobati istri
Raja Matanari yang
sedang sakit. Dan
diberitahukan, bawa Raja
Matanari telah membuat
sayembara, bahwa
"barang siapa dapat
menyembukkan mpung
istri Raja Matanari akan
diberikan hadiah apa saja
yang diminta, baik harta
bahkan putrinya (dijadikan
menantu Raja Matanari).
Balna Sikabeng-kabeng
berasal dar kata Mballa si
kabeng-kabengken
Tawaran hulubalang di
penuhi Raja
Silalahisabungan, yakni
bersedia mengobati istri
Raja Matanari. Karena
Raja Silalahisabungan
adalah seorang dukun,
maka beliau "martabas"
dan kemudian
mengatakan, istri Raja
Matanari dapat sembuh,
jika setan/hantu/begu/
bala/penyakit (bahasa
suku Batak Pakpak
disebut MBALLA) yang
masuk ke tubuh istri Raja
Matanari harus kita buang
atau terbangkan (dalam
bahasa suku Batak Pakpak
dikatakan SIKABENG
KEN, bahasa Toba
dikatakan ta pahabang).
Hal ini dikatakan dukun
(Raja Silalahisabungan)
kepada Raja Matanari.
Kemudian Raja Matanari
ditanya anggota
keluarganya, "bagaimana
kata dukun tersebut cara
menyembukan sakit istri
Raja Matanari" Raja
Matanari menjawab
mereka: "caranya adalah
MBALLA SIKABENG
KEN" (artinya setan yang
di dalam tubuh yang sakit
harus diterbangkan/
dibuang) melalui acara
ritual. Pelaksanaan ritual
menerbangkan setan
(MBALLA SIKABENG KEN)
di lakukan di lokasi diluar
kampung (kuta),
kemudian (sekarang)
lokasi ini disebut kuta
Balna Sikabeng- kabeng.
Acara ritual membuang/
menerbangkan setan
(Mballa Sikabeng ken)
seterusnya menjadi
terbiasa di lokasi ini dalam
tahap penyembuhan
penyakit. Tempat ini
menjadi tempat yang
sakral atau kramat, zaman
itu nenek moyang kita
menganut agama
Animisme atau
Pelbegu.Pada waktu
selanjutnya, bertambahlah
jumllah penduduk dan
bertambah juga Dukun
atau orang orang berilmu
kebatinan. Karena araca
ritual kebatinan atau
belajar menuntut ilmu
perdukunan, tidak boleh
terganggu, maka dilarang
penduduk biasa lalulalang
(masuk-keluar
sembarangan) ke tempat
tersebut. Tempat ini
diperuntukkan hanya bagi
pertua, dukun, orang
belajar ilmu kebatinan dan
proses pelaksanaan acara
ritual tertentu. Penduduk
biasa, keluarga dukun dan
anak-anaknya tinggal di
tempat agak terpisah dari
yang disebut sekarang
kuta Balna Sikabeng-
kabeng yang jaraknya
relatip dekat. Pada
mulanya tempat
melakukan MBALLA
SIKABENG KEN, selain
menjadi tempat yang
dianggap sakral, tempat
mengobati yang sakit,
tempat menguji ilmu
perdukunan, tempat
belajar ilmu kebatinan dan
ilmu hitam, juga menjadi
tempat yang ditakuti
masyarakat biasa karena
tempat ini adalah lokasi
pembunuhan terhadap
musuh, penghianat dan
orang yang melakukan
kesalahan besar.
Pembunuhan (Hukuman
Mati) bagi orang
Penghianat Raja ataupun
Orang yang bersalah
besar, sengaja
dipertontonkan kepada
masyarakat, untuk tujuan
membangun efek jera.
Musuh yang dibunuh
kadang-kadang dimakan
untuk menambah ilmu
kekebalan dan ilmu hitam,
(mereka percaya, jiga
daging musuh tersebut
dimakan maka akan
berpindah ilmu musuh
tersebut ke dalam
tubuhnya). Tiang Bale
Silendung Bulan di Balna
Sikabeng-kabeng adalah
tempat menancapkan
gigi-gigi manusia yang di
bunuh.Selanjutnya sesuai
pertambahan penduduk,
maka sering penduduk
biasa bertanya kepada
orang yang lebih tua
(datu), yakni dengan
pertanyaan "kegiatan apa
yang dilakukan dilokasi
itu, sehingga kita dilarang
memasukinya...?" . Orang
tua (datu) tersebut
menjawab secara bijak, itu
adalah tempat MBALLA
SIKABENG-KABENG KEN
(artinya: itu adalah
tempat setan kita
terbang-terbangkan).
Karena selain untuk
tempat pengobatan,
lokasi ini juga digunakan
sebagai lokasi menguji
ilmu kebatinan, ilmu
menerbangkan lumpang
(losung) dan alu (andalu),
ilmu hitam,
menerbangkan penyebab
gatal-gatal (GADAM),
memelihara Sibiangsat,
Begu Ganjang, meracik
racun (bisa), dan lain
lain.Selanjunya akibat
terjadi perkembangan
zaman, masuknya
pengaruh ajaran agama
Islam dan agama Kristen.,
pengaruh pertambahan
penduduk putra daerah
dan penduduk pendatang
(terutama dari suku Batak
Toba) sehingga dalam
bahasa sehari-hari terjadi
assimilasi/pembauran,
yang menyebabkan terjadi
perubahan kata atau
kalimat dari aslinya
yakni::Tempat MBALLA
SIKABENG-SIKABENG KEN
berubah menjadi nama
kuta BALNA SIKABENG-
KABENGSesuai
perkembangan zaman dan
pertambahan penduduk,
maka terjadi juga
pertambahan dusun atau
kuta. Putra sulung Raja
Matanari bertempat
tinggal sekitar kuta Balna
Sikabeng-kabeng,
sedangkan putra bungsu
Raja Matanari dan
keturunannya membentuk
kuta yang baru sekitar
beberapa ratus meter
arah ke utara. Sesuai
letak lokasi ini adalah
pada tempat yang lebih
tinggi dari tempat
sekitarnya, maka tempat
ini jadi terbiasa disebut
Kuta Gugung. Gugung
(Dolok, dalam bahasa
Toba) berarti lokasi yang
lebih tinggi dari tempat
sekitarnya. Kemudian
terbentuk dusun-dusun
baru sesuai pertambahan
jumlah penduduk,
misalnya, Pernantin, Kuta
Kabo, Kuta Lama, Kuta
Baru, Sikula, Kuta Gerat,
Silencer, Simbereng,
Simanabun, Juma Tungko,
Sibira, Buluh Ujung,
Sileuh-leuh, Pergambiran,
Lae Siboban, Lae Rias, Lae
Pinagar, dan lain
lainSebahagian keturunan
putra sulung dan putra
bungsu Raja Matanari
pergi merantau ke
daerah/desa SIKONIHAN,
SIMANDUMA, BUKIT
LEHU, TIGALINGGA,
KABAN JULU,
SIDIKALANG, PASI-
SUMBUL-BRAMPU,
SINGKIL, BOANG,
SUMBULUSALAM, ALAS/
GAYO-ACEH, dll. Sesuai
perkembangan zaman,
juga terjadi perubahan
nama-nama kampung
(kuta), yakni akibat terjadi
pengaruh bahasa
pendatang (terutama
bahasa suku Batak Toba)
yang saat ini jumlahnya
jauh lebih banyak dari
suku Batak Pakpak di
daerah Pegagan Julu IV,
yakni antara lain
perubahan nama kuta:
PARNANTIAN nama
aslinya adalah PERNATIN
yang berarti tempat ini
adalah tempat menunggu
orang lain dari arah
simpang yang berbeda, di
mana tempat ini adalah
simpang tiga.
BULUHUJUNG nama
aslinya adalah LEBBUH
UJUNG yang berarti
tempat paling ujung (tepi
hutan) pada zaman
tersebut.
SIBERENG nama aslinya si
MBERENG artinya si
Hitam, karena ditempat ini
pernah terjadi kebakaran
yang menyebabakan
terlihat asap api warna
hitam di lokasi tersebut.
Asap api warna hitam
terjadi dalam waktu
relatip lama karena yang
terbakar adalah beberapa
rumah yang mempunyai
atap ijuk dari pohon
Aren. Kebakaran terjadi
akibat perkelahian sesama
keturunan Raja Matanari
(perang saudara) dalam
perebutan kekuasaan
Kampung
HUTA GORAT nama
aslinya adalah KUTA
GERAT karena dilokasi ini
dahulu banyak terdapat
jenis mangga hutan yang
disebut namanya GERAT
dan juga Embacang hutan
yang disebut namanya
Embargus.
HUTA BARU nama
aslinya adalah KUTA
BARU yang berarti
perkembangan
penduduknya dari kuta
lama.
SILESSER nama aslinya
adalah SILENCER
HUTA SILEU-LEU nama
aslinya adalah KUTA
SILEUH-LEUH
HUTA PARGAMBIRAN
nama aslinya adalah
KUTA PERGAMBIREN, dll.
Putra sulung Raja
Matanari (Kembung
Mbaliang) lebih duluan
diajari Raja Matanari
tentang ilmu kebatinan
(hadatuon) dan berhasil
baik Putra sulung berhasil
menunjukkan
eksistensinya sebagai
putra sulung (boi do di
jujung baringinnya) yakni
menguasai ilmu kebatinan
yang diajarkan orang
tuanya Raja Matanari.
Karena putra sulung Raja
Matanari dan
keturunannya berhasil
menekuni atau
melaksanakan ilmu
kebatinan (hadatuan),
maka dia dan
keturunannya berhak dan
bersedia menempati
tempat kramat atau
sakral tersebut, (yaitu
tempat MBALLA
SIKABENG-KABENG KEN,
sekarang disebut kuta
Balna Sikabeng-kabeng).
Dengan demikian Kuta
Gugung ditempati putra
bungsu Raja Matanari
(Mbalang Tiktik dan
keturunannya), karena dia
menghormati kedudukan
atau hak abangnya.
Pinggan Matio berru
Matanari dan Ranimbani
berru Matanari
Setelah berhasil
mengobati penyakit istri
Raja Matanari, maka Raja
Silalahisabungan menagih
upahnya yakni agar Raja
Matanari berkenan
memberikan putrinya
untuk dipersunting Raja
Silalahisabungan menjadi
istrinya. Kenyatan ini
dipenuhi Raja Matanari
dengan terpaksa (tidak
sepenuhnya ihlas)....?.
Ditentukanlah waktu
mengantarkan berru ke
tempat (huta) pengantin
laki-laki (Raja
Silalahisabungan) di
kampung (huta) Silalahi.
Dalam penyerahan upah
Raja Silalahisabungan, Raja
Matanari memakai ilmu
hitam di sungai (binanga)
Simaila di Silalahi. Raja
Matanari mengizinkan
(mempersilahkan) Raja
Silalahisabungan memilih
salah satu dari tujuh (7)
gadis yang diperlihatkan
Raja Matanari. Raja
Silalahisabungan sudah
mengetahui bahwa hanya
satu orang putri Raja
Matanari (yaitu Pinggan
Matio). Namun Raja
Silalahisabungan cukup
cerdik tidak mau
mempermalukan calon
mertuanya. Raja
Silalahisabungan
meminta/
mempersilahkan semua
(7) gadis tersebut
menyeberangi sungai
(binanga) Simaila. Setelah
semua (7) gadis
menyeberang sungai
tersebut, Raja
Silalahisabungan
menunjuk (memilih) gadis
yang basah pakaiannya
waktu menyeberang
sungai yaitu salah seorang
yang paling buruk rupanya
(Cacat Matanya) dari
semua (7) gadis yang
diperlihatkan Raja
Matanari. Gadis yang
dipilih Raja
Silalahisabungan tersebut
adalah tepat (benar) si
Pinggan Matio. Enam (6)
gadis yang lain yang
diperlihatkankan Raja
Matanari (melalui ilmu
hitamnya), tidak basah
pakaiannya sewaktu
menyeberangi sungai
(binanga) Simaila karena
mereka ini bukanlah
manusia, melainkan
Siluman.Suatu ketika
setelah para putra Raja
Silalahi/Pinggan Matio
sudah ada, mereka datang
berkunjung ke daerah
Balna Sikabeng-kabeng
menjumpai mertua/orang
tua serta keluarga
Mancintaratus Matanari
(saudara laki-laki Pinggan
Matio). Mancintaratus
mempunyai 2 putra
( Kembung Mballiang dan
Mballang Tiktik) dan 3
orang putri. Pinngan Matio
melihat ada putri
Mancintaratus yang
bernama Ranimbani berru
Matanari (dalam
seharihari dipanggil
Ranimtamende) yang
cocok (diinginkannya)
dikawinkan dengan putra
tertuanya (yaitu Sihaloho
Raja).Guna mewujudkan
keinginannya, Pinggan
Matio mengambil dahan
pohon beringin (jabi-jabi).
Didepan orangtuanya
(Raja Matanari) dan
keluarga saudaranya
(Mancintaratus) Pinggan
Matio menenam dahan
(ranting) pohon beingin
tersebut seraya
memohon, berjanji/
bersumpah, " jika dahan/
ranting pohon beringin
yang ku tanam ini
tumbuh, maka tidak ada
yang bisa menghalangi
putranya Sihaloho Raja
mempersunting
parumaennya si
Rumintang berru
Matanari". Ternyata apa
yang dilakukan dan
diharapkan Pingga Matio
terwujud baik, yakni
dahan/ranting beringin
yang ditanam tumbuh
subur (selanjutnya pohon
ini disebut Tongkat =
tungkot ni Pinggan Matio)
dan dengan demikian
Sihaloho Raja
mempersunting
Ranimbani berru Matanari
menjadi istrinya (marboru
tulang).Kemudian, dua (2)
lagi adek perempuan si
Ranimbani kawin ke
marga Bintang dan marga
Maha. Dengan demikian
Sihaloho Raja marpariban
dengan Raja Bintang dan
Raja Maha . Keturunan
mereka ini umumnya
tidak boleh saling
mengawini satu sama lain
(ndang boi mersiolian,
berdasarkan ikrar = padan
sisada boru sisada anak)
karena selain istri mereka
bertiga adalah kakak-
adek, juga hubungan
persaudaraan mereka
sangat dekat dan saling
membatu melawan
musuh pada zaman
dahulu kala.
Pinggan Matio berru
Matanari Terlupakan....?
Pinggan Matio
berru Matanari terlupakan
(berobah menjadi berru
Padang Batanghari) akibat
kesalahan/kekeliruan
marga Matanari (tidak
kesalahan dari Panitia
Tarombo Pendirian Tugu
Raja Silalahisabungan).
Panitia Tarombo
keturunan Raja
Silalahisabungan (tahun
1967) bertanya, "masuk
tudia do marga
Matanari"...?. Penetua
(pertua) marga Matanari
menjawab, " Sada do
hami dohot
Sihotang". Jauh
sebelum tahun 1967,
Pakpak Pegagan
(Matanari, Manik dan
Lingga) sudah dekat
hubungan
persaudaraannya dengan
marga Sihotang (Batak
Toba) dan puncaknya
adalah terbentuknya
Ikatan (Pesta) Silima Tali
di Sumbul Pegagan tahun
1957. Silima Tali teriri dari
5 unsur yaitu (1) Matanari,
(2) Manik, (3) Lingga, (4)
Sihotang dan (5) Berru.
Keempat marga tersebut
diatas menjalin ikatan
persaudaraan "Sisada
Anak dohot Sisada Boru"
yakni keturunan 4 marga
tersebut tidak boleh
kawin. Sebelum
terbentuknya ikatan
(pesta) Silima Tali, antara
marga Matanari, Manik
dan Lingga masih terjadi
perkawinan (marsiolian).
Akibat pengaruh ikatan
(pesta) Silima Tali, waktu
selanjunya sebahagian
marga Matanari, Manik
dan Lingga mengaku
keturunan marga
Sihotang, sehinnga
pertanyaan Panitia
Tarombo Pendirian Tugu
Raja Silalahisabungan
tahun 1967 sulit dijawab
pertua marga Matanari
dengan jawaban yang
sebenarnya. (Seberarnya:
Matanari, Manik dan
Lingga adalah keturunan
Pakpak pegagan). Lebih
lanjut, dalam Pustaha
Batak (Toba) dituliskan
dalam Tarombo marga
Matanari, Manik dan
Lingga adalah keturunan
marga Sihotang, adalah
tulisan yang mungkin
tanpa disadari
menghilangkan
keberadaan Pakpak
Pegagan. Pakpak Pegagan
adalah bagian dari Proto
Batak Utara (Pakpak, Karo
dan Gayo) sedangkan
Toba adalah bagian dari
Proto Batak Selatan
(Mandailing, Angkola,
Toba dan Simalungun)
Sembahan si Raja Onggu-
Rumintang Penghuni
Pohon Beringin Tongkat
Pinggan Matio di Balna
Sikabeng-kabengRaja
Onggu Ruma Sondi
Dihukum Mati Karena
Menghina Pakpak, dan
akibatnya istrinya
Rumintang berru Matanari
Mati Gantung Diri
Mpung Raja Beak (artinya
kaya) Matanari
mempunyai berru si
Rumintang berru Matanari
dengan menantu yang
cukup terkenal sejarahnya
di Balna dan sekitarnya
adalah si Raja Onggu
Ruma Sondi (keturunan
Silalahisabungan) yang
kawin dengan si
Rumintang berru
Matanari. Raja Onggu
selaku menantu merga
Matanari sudah bermukim
di Balna dan telah
menguasai bahasa suku
Batak Pakpak Raja Onggu
adalah orang rajin dan
bekerja keras sehingga
cukup bersahaja
(maduma) kehidupan
keluarganya.. Raja Onggu
adalah orang bersifat
terbuka (seperti biasanya
sifat suku Batak Toba)
dalam berbicara sehari-
hari, berbicara seadanya,
kurang memikirkan orang
lain tersinggung atau tidak
karena semua sudah
dianggapnya anggota
keluarga dekat. Sebaliknya
suku Pakpak (termasuk
mertuanya marga
Matanari) mempunyai
sifat atau budaya malas
bekerja (bertani) sehingga
banyak yang miskin
(kurang makan), mau
meminta dari anak berru
dan bersifat agak
tertutup.Karena si Raja
Onggu sudah merasa
menantu penguasa marga
Matanari dan ditambah
sifat dan keadaan dia di
atas, maka tanpa
disadarinya dia telah
sering menyalahkan
(menghina) pihak kula-
kulanya Matanari selaku
suku Pakpak. Raja Onggu
sudah merasa sangat
dekat kepada semua
merga Matanari karena
dianggapnya sebagai pihak
kula-kula (mertuanya)
dan tulangnya sebagai
Raja Kuta dan Pertua
Marga Matanari. Karena
dia dan keluarganya rajin
bekerja keras/cukup
makan (maduma) maka
banyak orang justru
tersinggung dengan
ucapannya (yang mungkin
adalah benar). Misalnya, si
Raja Onggu mengatakan
pantas kalian (Matanari
suku Pakpak/kula-
kulanya) miskin/kurang
makan karena malas
bekerja, bukan..?. Cara
pengucapan si Raja
Onnggu membuat banyak
orang tersinggung atau
marah. Yang dikatakan si
Raja Onggu Benar, tapi
caranya tidak dapat
diterima orang Pakpak
pada zaman tersebut.Pada
suatu ketika Raja Beak
Matanari yang ada di
Balna hendak
membangun Rumah Adat
Pakpak yang diberi nama
"Rumah Sipitu Ruang
Kurang Dua Lima Puluh"
dan "Bale Silendung
Bulan" di Balna Sikabeng-
kabeng.. Tukangnya atau
arsiteknya, selain orang
suku Pakpak juga cukup
banyak suku Batak Toba
yang terutama yang
didatangkan dari daerah
Silalahi (termasuk si Raja
Onggu). Pada waktu
pembangunan Rumah
Adat merga Matanari di
Balna hampir selesai, si
Raja Onngu lagi-lagi
melakukan kesalahan
kepada marga Matanari
selaku Suku Pakpak. Raja
Onggu (mungkin tidak
menyadari) telah
mengucapkan kata-kata
penghinaan kepada marga
Matanari (secara umum
suku Pakpak ikut
dihinanya). Raja Onggu
mengatakan: "orang
Pakpak Bodoh, massya
gagang parang/pisaunya
lurus-lurus", tidak seperti
gagang parang/pisau
batak Toba ada sedikit
membengkok di ujungnya.
Sehingga memakai
parang/pisau suku Toba
adalah enak, tidak was-
was pisau/parang terlepas
dari tangan saat dipakai
(sebaliknya parang/pisau
orang
pakpak). Pernyataan
tersebut di atas,
diucapkan si Raja Onngu
dengan cara yang tidak
tepat dihadapan orang-
orang suku Pakpak yang
ikut serta sebagai Tukang
Rumah Adat di Balna dan
juga terdengar pertua
marga Matanari pemilik
rumah tersebut.
Pernyataan si Raja Onggu
tersebut membuat orang-
orang suku Pakpak marah,
atau tidak dapat diterima
(dibenarkan) suku Pakpak
pada waktu itu. Akibat
kesalahannya tersebut,
para penetua
memutuskan: "si Raja
Onngu harus dihukum
mati", walaupun si
Rumintang berru Matanari
(istrinya) sudah
menyembah-nyembah
penetua, memohon agar
suaminya tidak dihukum
mati. Raja Kuta (merga)
Matanari waktu itu pada
posisi yang sulit dalam
mengambil keputusan, di
mana yang akan dihukum
mati (di seat) didepan
masyarakat umum adalah
seorang menantu marga
Matanari, yaitu si Raja
Onggu pomparan
Silalahisabungan dengan
Pinggan Matio berru
Matanari. Tetapi demi
menjunjung tinggi Hukum
Adat, marga Matanari
selaku Raja Kuta tidak
memperdulikan
permohonan si Rumintang
berru Matanari (tidak
dapat mentolerir/
mengampuni kesalahan si
Raja Onggu
tersebut).Karena si
Rumintang berru Matanari
tidak dapat menerima
kenyataan tersebut, dia
menangis terus-menerus
(mangandungi)
memanggil-manggil
Arwah Pinggan Matio
berru Matanari ( istri Raja
Silalahisabungan) dan dia
menjadi bringas melawan
orang tua dan saudaranya
merga Matanari.
Akibatnya si Rumintang
berru Matanari di ikat
pada pohon Beringin (jabi-
jabi yang ditanam Pinggan
Matio). Setelah dilakukan
hukuman mati terhadap si
Raja Onggu, si Rumintang
berru Matanari terus
menerus menangis
(mangandungi) di bawah
pohon beringin tempat dia
diikat. Keesokan harinya
ditemukan si Rumintang
berru Matanari telah
mengahiri hidupnya
dengan cara Gantung
Diri. Kejadian ini sangat
menyedihkan pada marga
Matanari terutama pihak
mertua kandung si Raja
Onggu (bapa/ibu si
Rumintang berru
Matanari). Sifat kerja
keras, rajin dan terbuka
dari si Raja Onggu,
sebenarnya adalah contoh
yang sangat dibutuhkan
dalam pembangunan dan
kemajuan kuta (desa)
Balna dan sekitarnya pada
zaman tersebut. Setelah
dilakukan hukuman mati
kepada si Raja Onngu,
darahnya dioleskan pada
gorga (ornament)
RumahSipitu Ruang
Kurang Dua Lima Puluh.
Kemudian mayat si Raja
Onggu dan si Rumintang
berru Matanari diizinkan
penetua marga Matanari
di bawa ke Silalahi atas
permintaan pihak
keluarga si Raja Onggu
Ruma Sondi.Akibat
peristiwa itu, maka Rumah
Adat Sipitu Ruang Kurang
Dua Lima Puluh tersebut
tanggung selesai dipahat/
diukir ornamennya pada
waktu itu, tetapi tidak
pernah lagi diselesaikan
hingga Rumah Adat
tersebut hancur
disebabkan Badai Angin
Topan pada tanggal 20
Oktober 1984 sekitar jam
17.30 WIB.Keputusan
Hukum Adat ini
menimbulkan rasa
kesedihan dan penyesalan
pada keluarga marga
Matanari dan keturunan
Silalahisabungan. Lebih
dari perasaan sedih dan
penyesalan, wajar timbul
perasaan benci dari
keluarga si Raja Onggu
Ruma Sondi dan
keturunannya terhadap
marga Maatanari dapat
dimaklumi, untuk itu
marga Matanari mohon
maaf atas keputusan
Hukum Adat yang berlaku
pada zaman
dahulu. Kematian si Raja
Onggu Ruma Sondi dan si
Rumintang berru Matanari
adalah di luar kewajaran,
maka marga Matanari dan
masyarakat di Balna dan
sekitarnya menyakini
(kepercayaan animisme))
bahwa pohon beringin
(jabi-jabi) yang ditanam
Pinggan Matio berru
Matanari beberapa ratus
tahun silam adalah dihuni
oleh arwah/begu si Raja
Onggu dan Rumintang
berru Matanari (disebut
sehari-hari; Sembahan si
Raja Onggu). Pohon
beringin (jabi-jabi) ini mati
layu kemudian setelah
dilaksanakan Pesta
Peresmian Tugu
Silalahisabungan tahun
1981, di mana istri Raja
Silalahisabungan tertulis
pada Tugu tersebut bukan
Pinggan Matio berru
Matanari melainkan ditulis
berru Padang Batanghari.
Kebetulan, sebelum
pohon beringin tersebut
mati layu, salah seorang
istri marga Matanari (boru
Sijabat) mengambil
ranting pohon beringin
tersebut dan
menanamnya, sekarang
sudah cukup besar, tetapi
tidak ada kenyakinan
masyarakat bahwa pohon
ini dihuni arwah/begu si
Raja Onggu-si Rumintang
berru
Matanari.Maaf.....Mungkinkah.....kejadian
di atas, salah satu
penyebab sebahagian
keturunan Raja
Silalahisabungan, bersih
keras menolak marga
Matanari sebagai hula-
hula pomparan ni Raja
Silalahisabungan dan
menyatakan Pingga Matio
bukan berru
Matanari....? Berdasarkan
akibat Hukum Adat yang
dijalankan keturunan Raja
Matanari tersebut di atas,
marga Matanari mohon
maaf yang sebesar-
besarnya kepada keluarga
pomparan Raja
Silalahisabungan (khusus
kepada si Raja Onggu
Ruma Sondi-Rumintang
berru Matanari dan
keturunannya serta
keluarganya).
Rumah Sipitu Ruang
Kurang Dua Lima Puluh
Rumah ini adalah
rumah berornamen
budaya Pakpak yang
dibangun Raja Beak (kaya)
Matanari (sekitar generasi
ke-7 atau ke-8) ayah dari
si Rumintang berru
Matanari, mertua dari Raja
Onggu Ruma Sondi.
Diduga nama rumah ini
diberikan Raja Beak
Matanari, berkaitan
dengan kematian
(berkurang) dua anggota
keluarganya (Rumintang +
Raja Onggu) saat
pembangunan rumah
tersebut. Pembangunan
rumah tidak dilanjutkan
lagi hingga hancur
disebabkan Badai Angin
Topan pada tanggal 20
Oktober 1984 sekitar jam
17.30 WIB. Rumah
Sipitu Ruang Kurang Dua
Lima Puluh dan Bale
Silendung Bulan, sudah
pernah direncanakan
(diusulkan) Pemerintah
Kabupaten Dairi untuk
dipugar sebagai bukti
peninggalan budaya
Pakpak (Situs Rumah dan
Bale Adat Sub Suku Batak
Pakpak), namun sampai
sekarang belum terwujud.
Kita sangat
mengharapkan rencana
(usulan) tersebut dapat
diwujudkan Bapak Bupati
Dairi melalui perjuangan
yang terus-menerus dari
pihak (dinas/departenen)
Kebudayaan dan
Parawisata serta anggota
DPR Kabupaten Dairi.
Situs ini dapat menjadi
lokasi tujuan Wisata
(selain Taman Iman yang
sudah ada) guna
meningkatkan Pendapatan
Daerah. .......Semoga
Berhasil. Bale Sinendung
Bulan
Balai (bale) ini
dibangun pada lokasi yang
berhadapan dengan
Rumah Sipitu Ruang
Kurang Dua Lima Puluh.
Balai ini digunakan sebagai
tempat melaksanakan
rapat para penetua untuk
mengambil keputusan
yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat.
Tiang (pilar) Bale
Silendung Bulan adalah
tempat menancapkan
rahang dan gigi
(tengkorak) para musuh
yang telah dibunuh,
sebagai symbol yang
menunjukkan kekuatan
raja (pertua) dan
masyarakat yang tinggal di
daerah tersebut. Dengan
symbol tersebut
diharapkan para orang
pendatang tidak
sembarangan melakukan
tindakan yang
bertentangan dengan
hukum adat atau
pertaturan yang berlaku di
daerah tersebut.
Pada serambi Bale
Silendung Bulan adalah
tempat membunuh
(maneat) dan memasak
daging manusia musuh
yang dianggap kuat/
hebat. Daging manusia
musuh yang dianggap
kuat/hebat dimakan
dengan keyakinan
(tujuan), agar ilmu
kebatinan manusia kuat
tersebut berpindah ke
dalam tubuh mereka,
Dengan demikian tidak
sembarangan manusia,
dagingnya.dimakan.
Siberru Taren Matanari
istri Raja Manungkun Pintu
BatuSiberru Taren
Matanari istri Raja
Manungkun Pintu Batu
mendapat Rading Berru
dari Raja Tarren Matanari.
Rading berru tersebut
adalah parhutaan/lahan di
Temberro (arah Selatan
dari Balna Sikabeng-
kabeng) yang diberikan
marga Matanari kepada
Raja Manungkun Pintu
Batu (keturunan Raja
Silalahisabungan) dan
keturunannya..
Sembahan Bendar Muncu
Diantara kuta Kabo dan
kuta Pernantiin terdapat
saluran irigasi yang relatip
besar dan airnya cukup
deras alirannya yang diberi
nama Bendar Muncu.
Sampai sekitar tahun 1950
an lokasi ini dianggap
keramat, sakral dan
berbahaya. Dilokasi inilah
Parmangmang (Tokoh
kampong = Dukun)
memuja dan memohon
perlindungan bagi
keluarga Matanari Kuta
Gugung yang masih
menganut agama
Animisme dan
menjalankan budaya
tradisional. Sebelum
terlaksana musim tanam
Padi, maka Parmangmang
memuja dan memohon,
agar kiranya hama yang
menyerang tanaman Padi
dijauhkan sehingga hasil
panen berlimpah serta
masyarakat dijauhkan dari
penyakit yang
mematikan.Parmangmanglah
yang mempunyai hak
pertama menanam padi,
dan setelah selasai boleh
diikuti oleh masyarakat
biasa menanam padi di
lading masing-masing,
demikian juga saat
panen. Setelah selesai
menanam Padi, semua
masyarakat harus
berpuasa tinggal diam di
rumah masing-masing,
agar hama tanaman tidak
menyerang kemudian
hari (berdasarkan
kenyakinan agama
animisme dan budaya
tradisional).
Lokasi Terlarang Dimasuki
Masyarakat
Terdapat lahan yang
cukup luas (sekitar 4
hektar) yang tidak ada
masyarakat yang berani
memasukinya, karena
dianggap pada tanah
lahan tersebut terdapat
GADAM. Menurut ceritra,
bahwa kakek (mpung)
dari keturunan Raja
Matanari menguburkan
(menyembunyikan)
berbagai alat-alat
bersejarah dan harta
karun di lahan yang 4
hektar tersebut.
Kemudian, tidak ada
orang yang berani
mengambilnya, karena
diyakini waktu barang-
barang itu dikuburkan,
kemudian ditaburkan
pada tanah tersebut
Gadam.Gadam adalah
guna-guna yang
menyebabkan gatal-gatal
kulit hingga membusuk
dan mematikan manusia.
Menurut keyakinan
masyarakat, bila kena
Gadam tersebut, hanya
dapat diobati oleh orang
yang memasangnya
(meraciknya), karena
Gadam mempunyai kunci
rahasia (specifik). Barang-
barang ini dikuburkan
mpung keturunan Raja
Matanari, adalah karena
dia takut barang tersebut
diambil bangsa Belanda
pada zaman penjajahan.
Agar barang itu tidak bisa
di ambil (digali), maka
dijaga dengan
menaburkan guna-guna
Gadam pada tanah galian
tersebut. Kakek (mpung)
keturunan Raja Matanari
tersebut sudah meninggal,
tetapi beliau tidak
memberitahukan kunci
rahasia Gadam tersebut
kepada
keturunannya.Apakah
pendapat keyakinan) ini
adalah salah..?, benarkah
Gadam tidak dapat diobati
secara medis...?. Masih
adakah cara mendapatkan
barang-barang
peninggalan keturunan
Raja Matanari tersebut...?
Sembahan Liang Besi dan
Liang
Nankendeng
Liang adalah tempat
menyerupai gua kecil di
sungai (lae) Patuak dan
lae Manalsal. Pada
masing-masing tempat ini
diyakini (kepercayaan
animisme) dihuni oleh
mahluk gaib. Tempat ini
diyakini sebagai tempat
meminta/mendapatkan
ilmu kebatinan, ilmu
kekebalan, ilmu hitam/
siluman dan lain lain.
Orang-orang yang belajar
ilmu kebatinan melakukan
penyelaman di jeram
sungai (lae Patuak/lae
Manalsal) untuk
mendapatkan sesuatu
benda yang diyakininya
menjadi jimat (benda
berkekuatan gaib).
Demikianlah catatan
Sejarah dan beberapa
Legenda pada merga
Matanari Pakpak Pegagan
berdasarkan ceritra dari
mulut ke mulut yang
didengar dan diingat
penulis semenjak penulis
masih anak-anak (umur
sekitar 4-5 tahun).serta
beberapa tulisan pertua
merga Matanari. Semoga
yang dipaparkan penulis
ini dapat berguna, dan
jikalau ada kekeliruan
dalam tulisan ini, maka
penulis lebih dahulu
mohon maaf dan dengan
senang hati penulis dapat
menerima kritik demi
perbaikannya.
NJUAH-NJUAHHormat
saya PenulisJawaller
Matanari, Ir. MSKetua
PERMANA (Perpulungen
Matanari, Berru/Berrena)
Medan dan
SekitarnyaKontak:Mobile
081361149346Email:
matanarij@yahoo.comwww.jerrymatanari.blogspot.comw
ww.pakpakpegagan.blogspot.com
www.geocities.com/
matanarij
Bagikan
Fredy Sori Silalahi Ini
baru cerita menarik
appara, tolong dilanjutkan
ceritanya, biar kita semua
paham.
11 Agustus 2010 jam 23:06
Dugem Jelex GeMbel's
Bengkoelou hm....
15 Agustus 2010 jam 5:36
melalui Facebook Seluler
Chandra Silalahi baru
tau cerita ini uda. semakin
menambah wawasan
04 Januari jam 1:14
Akun
Catatan Julianus
Catatan Tentang
Julianus
Catatan Teman
Catatan
Halaman
Catatan Saya
Draf Saya
Catatan tentang
Saya
Catatan Julianus
Silalahi
Tambahkan
sebagai teman
Tambahkan
sebagai teman
Facebook © 2011 ·

No comments:

Post a Comment

Jika mau memberi tanggapan/komentar, di mohon dengan tulisan dan bahasa yang sopan dengan identitas yang jelas, jika identitas tidak jelas tidak akan ditanggapi.