Wednesday 13 April 2011

Guru Patimpus Sinambela (Klaim marga Sinambela)

Sultan Sinambela
(Guru Patimpus)
Pada tahun 1540 M,
Mahkuta atau
Manghuntal yang
menjadi Panglima di
Kerajaan Hatorusan
yang berpusat di
Barus dan Singkel--
ditugaskan
menumpas
pemberontakan di
pedalaman Batak,
setelah sebelumnya
berhasil mengusir
Portugis dari perairan
Singkel, memerintah
di tanah Batak
sebagai
Sisingamangaraja I.
Kedaulatannya
ditransfer oleh Raja
Uti VII yang
kehilangan
kekuasaannya.
Pemerintahan
Sisingamangaraja I,
hanya berlangsung
sepuluh tahun.
Sebelum putra
mahkotanya,
Manjolong, berumur
dewasa, masih 12
tahun, Manghuntal
dikabarkan
menghilang dan tidak
pernah kembali lagi.
Orang-orang Bakkara
dan lingkungan Istana
percaya bahwa
Sisingamangaraja
menghilang diambil
Mulajadi Nabolon ke
langit atau
menganggapnya
sebagai kejadian gaib.
Manjolong akhirnya
diangkat menjadi
Sisingamangaraja II.
Belakangan dari
kitab-kitab kuno
bangsa Batak Karo
diketahui bahwa
Sisingamangaraja I
ternyata berada di
tanah Karo paska
menghilangnya raja
dari Bakkara. Tidak
disebutkan sebab-
sebab migrasi
Sisingamangaraja.
Apakah dia frustasi
dengan keadaan
rakyatnya yang terus
bertikai dan
bertengkar, walau
sudah dibujuk untuk
damai dengan benda-
benda pusaka Raja-
raja Uti, tidak
diketahui dengan
pasti.
Tapi melihat riwayat-
riwayat budi pekerti
sosok
Sisingamangaraja I
yang anti-
perbudakan, anti-
rentenir sehingga
selalu membayar
utang para rakyat
yang terlilit hutang
dan lain sebagainya,
membuatnya banyak
memiliki musuh dari
elit-elit yang suka
mengeksploitasi
rakyat. Permusuhan
itu, tidak saja dari
lingkungan istana tapi
bahkan dari
kerabatnya sendiri,
misalnya
namborunya, yang
tidak menyukai
kebijakannya
tersebut.
Paska kepindahannya
ke tanah Karo salah
satu cucunya yang
bernama Guru
Patimpus mendirikan
huta yang sekarang
menjadi Ibukota
Provinsi Sumatera
Utara.
Nama medan
merupakan sebuah
desa yang dibangun
oleh Guru Patimpus.
Desa tersebut yang
berfungsi sebagai
‘onan’ tempat
berkumpulnya orang-
orang dari berbagai
penjuru untuk tujuan
ekonomi, politik dan
sosial. Onan itu
berada di sebuah
lapangan besar di
mana diatasnya
keramaian orang
melakukan transaksi.
Orang-orang Arab
yang melihat peristiwa
itu menyebut
lapangan tersebut
sebagai Maidan,
lapangan luas, yang
akhirnya menjadi
Medan dalam lidah
melayu.
Nama Medan dikenal
berbeda-beda dalam
sejarah, sesuai dengan
perubahan penguasa
atas kawasan ini.
Kesultanan Haru,
terdiri dari orang
Karo yang menjadi
prajurit Aceh, pernah
menguasasinya dan
medan lebih dikenal
dengan Haru.
Dominasi orang Haru
diruntuhkan oleh
orang Aceh dan
mengangkat orang
melayu menjadi
pemimpin di daerah
tersebut. Maka
kemudian dikenal
juga nama Ghuri dan
Deli di tangan orang
Melayu yang diangkat
oleh Aceh dan
dipengaruhi oleh
budaya India Dehli
sekarang dikenal
Delhi.
Menurut riwayat
Hamparan Perak
salah seorang putera
dari Sisingamangaraja
bernama Tuan Si Raja
Hita mempunyai
seorang anak
bernama Guru
Patimpus pergi
merantau ke
beberapa tempat di
Tanah Karo dan
merajakan anak-
anaknya di kampung–
kampung: Kuluhu,
Paropa, Batu, Liang
Tanah, Tongging, Aji
Jahe, Batu Karang,
Purbaji, dan Durian
Kerajaan. Kemudian
Guru Patimpus turun
ke Sungai Sikambing
dan bertemu dengan
Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng
yang tinggal di Jl.
Kertas Medan dia
mempunyai dokumen
tua dalam bentuk
lempeng –lempeng.
Menurut trombo
yang ada padanya
Raja –raja 12 Kuta
(Hamparan Perak)
adalah :
Dinasti
Sisingamangaraja I,
setelah menghilang
dari Bakkara.
1. Sisingamangaraja,
bernama aseli
Mahkuta alias
Manghuntal. Lahir di
Bakkara, dibesarkan
di Istana Raja Uti VII
(Pasaribu Hatorusan)
di Singkel, menjadi
raja Batak di Bakkara
paska menumpas
pemberontakan
memerintah di tahun
1540-1550 M.
Mempunyai dua anak,
yang pertama adalah
Manjolong, menjadi
Sisingamangaraja II di
Bakkaara dengan
gelar Datu Tinaruan
atau Ompu Raja
Tinaruan memerintah
1550 s.d 1595 dan
yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di
sana ia memperoleh
tiga orang anak. Anak
yang nomor dua
menjadi raja di
Kerajaan Pekan. Yang
bungsu menjadi raja
di Kerajaan Balige,
Toba dan yang tertua
bernama Patimpus
alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus,
masuk Islam dan
pada tanggal 1 Juli
1590, mendirikan
kota Medan.
Puteranya adalah, (1)
Benara, Raja di
Benara (2) Kuluhu,
Raja di Keluhu (3)
Batu, pendiri kerajaan
Batu, (4) Salahan,
Raja di Salahan (5)
Paropa, Raja di
Paropa (6) Liang, Raja
di Liang Tanah (7)
Seorang gadis yang
menikah dengan Raja
Tangging (Tingging)
(8) Janda yang
menetap di Aji Jahe
(9) Si Gelit (Bagelit),
Raja di Kerajaan Karo
Islam Sukapiring,
daerah antara Medan
sampai ke
pegunungan Karo
(10) Raja Aji, yang
menjadi perbapaan
Perbaji, (11) Raja Hita
yang menjadi raja di
Durian Kerajaan,
Langkat Hulu (12)
Hafidz Tua dengan
panggilannya Kolok,
tidak menjadi raja
tapi ulama dan Hafidz
Muda dengan
panggilannya Kecik
yang menjadi
pengganti Guru
Patimpus di Kerajaan
Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja
Muhammadsyah
putera Hafidz Muda,
makamnya terletak di
dekat makam
puteranya Masannah,
daerah Petisah
Medan. Mempunyai
tiga putera. Yang
pertama adalah
Masannah yang
dikenal dengan Datuk
Saudagar, dia
menetap di Pulau
Bening dan
keturunannya berada
di sana. Makamnya di
samping makam
ayahnya
Muhammadsyah yang
disebut 'Makam
Melintang', anak yang
kedua adalah
Pangeran Ahmad
yang keturunanya
menetap di Petisah,
Medan dan yang
ketiga adalah Raja
Mahmud yang
menjadi pengganti
Raja Muhammadsyah.
Saat ini pusat
kerajaan yang
meliputi 2/3 dari
kerajaan Patimpus
dipindahkan ke
Terjuan. Dia
dimakamkan di sana.
Raja Muhammadsyah
memperlua kerajaan
ke kawasan baru yang
bernama Kuala
Bekala dan Terjun.
Kedua daerah ini
kemudian disebut
Marhom
Muhammadsyah
Darat.
6. Raja Mahmud
putera
Muhammadsyah,
mempunyai dua
putera mahkota.
Pertama Pangeran Ali
dan yang kedua
Pangeran Zainal yang
memilih tinggal di
Klambir Tunggal dan
kuburannya ada di
sana.
7. Raja Ali putera
Mahmud,
memindahkan
ibukota ke kawasan
Buluh Cina. Kerajaan
mulai makmur
dengan perdagangan.
Penghasilan kerajaan
berasal dari ekspor
lada besar-besaran ke
Penang/Melaka.
Mempunyai satu
putera mahkota,
Banu Hasyim dan satu
puteri, Bujang Semba
yang menikah dengan
Sultan Panglima
Mangedar Alam dari
Kesultanan Deli.
Masuknya pengaruh
kekuatan Aceh dan
orang-orang melayu
yang berciri khas
India Dehli.
Kesultanan Deli
sendiri didirikan oleh
Sri Paduka Gocah
Pahlawan Laksamana
Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim
putera Ali, menikah
dengan puteri
Manyak, kakak dari
Datuk Sunggal Amar
Laut. Dia memperluas
kerajaan sampai ke
kawasan Kampung
Buluh. Mempunyai
tiga anak. Pertama
adalah Sultan Sri
Ahmad, yang kedua
adalah Sri Kemala,
puteri yang menikah
dengan Sultan Osman
I dari Kesultanan Deli
dan yang ketiga
adalah Sri Hanum,
seorang puteri yang
menikah dengan
Pangeran Kesultanan
Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad
putera Banu Hasyim.
Pusat kerajaan di
pindahkan ke
Pangkalan Buluh.
Kerajaan Karo Islam
mulai tergeser karena
menguatnya
Kesultanan Deli yang
didukung oleh pihak
Imperium Kesultanan
Aceh. Sultan pernah
menerima tamu
bernama John
Anderson pada tahun
1823. Kerajaan Islam
Karo akhirnya takluk
ke Kesultanan Deli
dan Sultan akhirnya
masuk menjadi
pembesar Kesultanan
Deli yang bergelar
Datuk Panglima Setia
Raja Wazir XII-Kota.
Pemerintahannya di
bawah Kesultanan
Deli akhirnya
dipindahkan ke
Hamparan Perak. Dia
meninggal dalam usia
119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz
Harberhan
13. Datuk Syariful
Azas Haberham.
Riwayat Hamparan
Perak ini pernah
disalin ke dalam
bahasa Belanda
dalam "Nota Over De
Landsgrooten van
Deli", juga dalam
"Begraafplaatsrapport
Gementee Medan
1928"
Berdasarkan bahan–
bahan dari Panitia
Sejarah Kota Medan
(1972) termasuk
Landschap Urung XII
Kuta, ini dapat dilihat
dari trombo yang
disalin dalam tulisan
Batak Karo yang
ditulis di atas kulit –
kulit Alin. Trombo ini
mengisahkan Guru
Patimpus lahir di Aji
Jahei. Dia mendengar
kabar ada seorang
datang dari Jawi
(bahasa Jawi bahasa
Pasai Aceh, kemudian
dikenal dengan
bahasa Melayu tulisan
Arab. Orang yang
datang dari Jawi itu
adalah orang dari
Pasai keturunan Said
yang berdiam di kota
Bangun. Orang itu
sangat dihormati
penduduk di Kota
Bangun kemudian
diangkat menjadi
Datuk Kota Bangun
yang dikenal sangat
tinggi ilmunya. Banyak
sekali perbuatannya
yang dinilai ajaib-
ajaib.
Guru Patimpus sangat
ingin berjumpa
dengan Datuk Kota
Bangun untuk
mengadu kekuatan
ilmunya. Guru
Patimpus beserta
rakyatnya turun
melalui Sungai
Babura, akhirnya
sampailah di Kuala
Sungai Sikambing. Di
tempat ini Guru
Patimpus tinggal
selama 3 bulan,
kemudian pergi ke
Kota Bangun untuk
menjumpai Datok
Kota Bangun. Konon
ceritanya dalam
mengadu kekuatan
ilmu, siapa yang kalah
harus mengikuti yang
memang. Dalam adu
kekuatan ini, berkat
bantuan Allah SWT
Guru Patimpus kalah
dan dia memeluk
agama Islam,
sebelumnya
beragama Perbegu.
Dia belajar agama
Islam dari Datuk Kota
Bangun. Dia selalu
pergi dan kembali ke
Kuala Sungai
Sikambing pergi ke
gunung dan ke Kota
Bangun melewati Pulo
Berayan yang waktu
itu di bawah
kekuasaan Raja
Marga Tarigan
keturunan Panglima
Hali. Dalam
persinggahan di Pulo
Berayan, rupanya
Guru Patimpus
terpikat hatinya
kepada puteri Raja
Pulo Berayan yang
cantik. Akhirnya
kawin dengan puteri
Raja Pulau Berayan
itu, kemudian mereka
pindah dan membuka
hutan kemudian
menjadi Kampung
Medan. Setelah
menikah, Patimpus
dan istrinya membuka
kawasan hutan antara
Sungai Deli dan
Sungai Babura yang
kemudian menjadi
Kampung Medan.
Tanggal kejadian ini
biasanya disebut
sebagai 1 Juli 1590,
yang kini diperingati
sebagai hari jadi kota
Medan.
Putera Guru Patimpus
Hafal Al-Qur'an
Dari perkawinan
dengan puteri Raja
Pulo Berayan lahirlah
dua orang anak lelaki,
seorang bernama
Kolok dan seorang
lagi bernama Kecik.
Kedua putera Guru
Patimpus ini pergi ke
Aceh untuk belajar
agama Islam. Kedua
putera Guru Patimpus
ini hafal Al Qur'an,
karena itu Raja Aceh
memberi nama untuk
yang tua Kolok Hafiz,
dan adiknya Kecik
Hafiz.
Menurut trombo
yang ditulis dalam
bahasa Batak Karo di
atas kulit Alin itu,
Hafiz Muda kemudian
menggantikan orang
tuanya Guru
Patimpus, menjadi
Raja XII Kuta. Putera
Guru Patimpus dari
ibu yang lain
bernama Bagelit
turun dari gunung
menuntut hak dari
ayahandanya yaitu
daerah XII Kuta.
Setelah puteranya
Bagelit memeluk
agama Islam daerah
XII Kuta yang
batasnya dari laut
sampai ke gunung
dibagi dua. Kepada
Bagelit diberi
kekuasaan dari
Kampung Medan
sampai ke gunung.
Akhirnya kekuasaan
Bagelit dikenal
dengan Orung
Sukapiring.
Sedangkan Hafiz
Muda tetap menjadi
Raja XII Kuta
berkedudukan di
Kampung Medan.
Waktu itu Medan
adalah sekitar Jalan
Sungai Deli sampai Sei
Sikambing (Petisah
Kampung Silalas).
Guru Patimpus dan
puteranya Hafiz Muda
yang menjadikan
Kampung Medan
sebagai pusat
pemerintahannya.
Menurut trombo dan
riwayat Hamparan
Perak (XII Kuta) Guru
Patimpus belajar
agama Islam pada
Datuk Kota Bangun.
Menurut catatan
sejarah Datuk Kota
Bangun adalah
seorang ulama besar,
tapi tidak disebut
namanya. Apakah
Datuk Kota Bangun
itu adalah Imam
Siddik bin Abdullah
yang meninggal 22
Juni 1590? Pertanyaan
ini barang kali ahli
sejarah dapat
menjawabnya. Di
masa dulu ulama–
ulama besar lebih
dikenal dengan
menyebut nama
tempat ulama itu
berdomisili.
Menurut Prof. J.P.
Moquette dan
Tengku Luckman
Sinar, SH, makam
Imam Siddik bin
Abdullah terdapat di
Perkebunan
Klumpang. Pada batu
nisannya tertulis
ulama dari Aceh
Imam Siddik bin
Abdullah meninggal
23 Syakban 998H (22
Juni 1590)

No comments:

Post a Comment

Jika mau memberi tanggapan/komentar, di mohon dengan tulisan dan bahasa yang sopan dengan identitas yang jelas, jika identitas tidak jelas tidak akan ditanggapi.